Baabullah, Monumen Akal Sehat dan Sosok Homo Deus Bangsa

Almarhum Sry Sultan Mudaffar Syah bersama Saiful Bahri Ruray

Sejarah, pada prinsipnya bukan sekadar sebuah peristiwa biasa-biasa saja. Juga ia tidak berdiri sendiri. Karena peristiwa sejarah senantiasa memiliki kausalitas. Maka bembicarakan sejarah, tidaklah sekadar memperbincangkan masa lalu, tetapi ia memiliki korelasi terhadap eksistensi kontemporer kekinian, bahkan memiliki dimensi futuristik terhadap masa depan. Justeru itu, memahami sejarah adalah memahami diri agar lebih bijak dan arif dalam membedah realitas dan eksistensi diri kita. Demikianlah makna historia magistra vitae, sejarah adalah guru sang kehidupan. Sebaliknya tanpa sejarah, kita akan mengalami dis-eksistensi bahkan dis-orientasi dalam memahami kehidupan itu sendiri.

Dalam dua bulan terakhir ini, ada beberapa persitiwa kemanusiaan yang sangat mengenaskan bagi kita. Menurut saya, mengenaskan karena manusia, dalam era bigdata dengan logaritma informasi dunia maya zaman now, masih juga terperangkap pada kotak hitam dimensia historis. Berawal dari bom bunuh diri sel ISIS di Sibolga, Sumatera Utara, yang dilakukan sekeluarga. Mengorbankan sekeluarga, bahkan menghancurkan 15 rumah tetangga sekitar. Lalu terjadi lagi tragedi Jumat berdarah di dua Mesjid di kota Christchurch, Selandia Baru, yang dilakukan Brenton Tarrant pria kelahiran Australia ini mengorbankan nyawa 50 orang, serta melukai 50 jemaah pada shalat Jumat di negeri damai tersebut. Pelakunya seorang penganut ‘white supremacy’ yang dengan sengaja merekam pembantaiannya melalui medsos, setelah didahului oleh 74 halaman manifestonya atas white supremacy tersebut. Dilanjutkan pula dengan penembakan di Utrecht, Belanda 18 Maret 2019 yang dilakukan Gokmen Tanis, yang menewaskan 3 orang penumpang trem dan melukai 7 penumpang lainnya. Polisi Belanda akhirnya berhasil menangkap sang pelaku setelah 8 jam melakukan upaya pengejaran dan penangkapan tersebut. Dan masih di Den Haag, Belanda, Mahkamah Kejahatan Internasional (The International Criminal Court/ICC), 20 Maret 2019 menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap Radovan Karadzic, pemimpin Serbia, karena terbukti membantai 8.000 anak dan kaum muslim di Srebenica, Bosnia pada 1995 lalu.

Perang Balkan ini adalah ethnic cleansing yang paling brutal di era modern. Dimana manusia dibantai hanya karena alasan berbeda identitas, entah karena suku atau agama dan warna kulit. Kita tahu bahwa Perang Dunia I juga berawal dari kawasan tersebut. Perang Dunia II pun berlangsung karena alasan ethnic ketika Adolf Hitler melakukan holocaust atas kaum Yahudi karena mengklaim ras Aria sebagai bangsa terbaik. Juga pada 13 Februari 2019 lalu, kita dikejutkan dengan peristiwa tewasnya Sajad Ali, seorang anak muda imigran Afganistan, yang 20 tahun menanti tanpa kepastian, membakar dirinya hingga tewas mengenaskan di Manado. Padahal lagi berapa hari ia akan diwisuda sebagai sarjana teknik Universitas Sam Ratulangi, Manado. Ia membakar diri sebagai langkah protes kepada UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), lembaga PPB untuk urusan pengungsi, yang tak kunjung memberi kepastian ke negara mana mereka sekeluarga harus berlabuh. Ia sekeluarga adalah korban perang di negara asalnya dan menjadi imigran tanpa ujung kepastian hingga akhir hayat. Betapa tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah dunia ini, terjadi karena prasangka.

Peristiwa demi peristiwa ini, seakan membuka mata kita bahwa dunia masih terbelah pada prasangka politik identitas yang saling menafikan eksistensi yang lain. Misalnya saja White Supremacy yang dilakukan, segera dicap sebagai terorisme kanan tersebut, dilakukan atas nama ras kulit putih yang merasa lebih dominan dan berhak hidup dibanding kulit berwarna alias imigran. Protes seorang anak muda Will Connolly dengan melempari telur kepada senator Australia, Fraser Anning, diberi apresiasi sebagai ‘the eggboy’ karena sang senator menyalahkan Islam dan imigran sebagai biang dari kasus pembantaian Christchurch, New Zealand tersebut. Padahal, kita lupa bahwa jauh sebelum Captain James Cook menemukan benua Australia dan New Zealand pada 1769, benua tersebut telah berpenghuni, orang Maori maupun Aborigin yang berkulit berwarna dan ber-DNA Melanesia, mirip dengan DNA manusia Indonesia dikawasan nusantara yang berbudaya Melayu-Polinesia. Peter Bellwood, arkeolog Australia dalam The First Migration-nya, telah menguraikan asal usul penduduk nusantara sejak awal berbasis teori ‘Out of Africa’ 1 hingga 4 tersebut.

Bellwood membuktikan bahwa migrasi manusia secara global berasal dari Afrika Utara. Yuval Noah Harari, seorang ilmuan sejarah pada The Hebrew University of Jerrussalem, bahkan dengan berani mengkritik tradisi interpretasi tradisional agama-agama langit seperti Yahudi-Kristen bahkan Islam, yang meletakkan awal peradaban hanya pada Abraham sebagai awal dari segala-galanya. Maklum saja dalam tradisi Yudeo-Kristiani maupun Islam sendiri, Abraham dianggap sebagai ‘the father of the faith’ (bapaknya orang-orang beriman). Harari mempersoalkan limitasi peradaban diletakkan atas Abraham karena kita seakan menafikan manusia sebelum Abraham sendiri. Termasuk Israel yang mencitakan ibukota Jerusalem berdasarkan Perjanjian Tabut dalam Talmud atau Taurat tersebut. Menurut Harari, membalik jarum jam sejarah dengan interpretasi tradisional, seakan membalik peradaban manusia yang senantiasa berjalan kedepan.

Paus Fransiskus dan Raja Maroko Mohammed VI, bahkan telah menandatangani deklarasi di Rabat, Maroko, bahwa kota Jerusalem adalah warisan dunia bagi pengikut tiga agama monoteistik pada 30 Maret 2019. Sebelum ke Maroko, pemimpin 1.3 milyar umat Katolik itu juga telah mengunjungi Uni Emirat Arab dan Kampus Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ia bertemu Imam Besar Syekh Ahmad al-Tayeb. Paus Fransiskus lagi menggalang dialog antar agama untuk menentang kekerasan, radikalisme, terorisme yang dilakukan atas nama Tuhan. Kata Paus, sebagai umat Kristen dan Muslim, kita mengimani Tuhan sebagai Pencipta dan Sang Maharahim, menjadikan manusia, lelaki dan perempuan, berbangsa-bangsa, mendiami bumi saling kenal mengenal, menghormati keanekaragaman dan saling membantu. Ia menamakan ekstremisme sebagai serangan terhadap agama dan Tuhan.

Lalu, bagaimanakah seharusnya kita memahami sejarah secara benar dan menjadi bijak ? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh kita ketika peradaban manusia (Sapiens), dalam konteks Harari telah mencapai puncaknya melalui Revolusi Kognitif 70.000 tahun silam, namun korban kemanusiaan masih terjadi disana sini atas nama prasangka identitas. Padahal kita sedang berhadapan dengan dua revolusi yang berlangsung berbarengan dewasa ini yaitu biology-technology (bio-tech) dan information technology (info-tech), yang seharusnya mengantar manusia untuk terlepas dari hoaks dan manipulasi informasi  karena berkembangnya artificial intelligence (AI) dapat dijadikan filter dalam menyaring kebenaran informafi era bigdata. Halmana sekaligus semakin memahami bahwa sejarah peradaban berbasis  prasangka itu sebuah kekeliruan yang konyol. Tetapi begitulah fakta yang terjadi dalam momen-momen terakhir ini, kita disuguhkan peristiwa-peristiwa memilukan yang membuat manusia tersadar bahwa kapasitas otak kita ternyata tak selalu mampu menyimpan monumen peradaban dalam logaritma bigdata yang tersebar dengan mudah dan demikian memadainya.

Dalam konteks itupula, saya melihat tuntutan untuk memperoleh gelar pahlawan nasional yang di lakukan oleh sekelompok anak muda Ternate, Maluku Utara, untuk Babullah, menjadi signifikan. Karena gerakan tuntutan tersebut seakan menyentakkan kita, bahwa kita butuh monumen untuk menjadi patronase, baik secara lokal maupun nasional, agar kita tidak kehilangan orientasi dan jatidiri sebagai manusia. Babullah, yang pernah menerima dengan resmi, 164 anak buah kapal armada Inggris dibawah Francis Drake itu, adalah sosok yang mengalahkan prasangka identitas. Ia sosok yang melampaui zamannya. Betapa tidak, keberhasilannya mengenyahkan Portugis dari nusantara, oleh para sejarawan, dianggap berhasil menunda 100 tahun kolonialisme di nusantara. Ia adalah sesungguhnya pemenang dalam peradaban manusia. Kolonialisme memang didasarkan atas politik prasangka bahwa kaum kulit putih lebih berhak daripada kulit berwarna dalam mengelola peradaban atas nama kemanusiaan.

Penulis Daniel Defoe, yang menulis kisah Robinson Crusoe, mengisahkan Trinidad, pulau yang tak berpenghuni, dimana sosok Friday, yang menjadi budak Crusoe, karena terselematkan dari tindakan biadab sesama kulit hitam diperkenalkan pada peradaban dalam perspektif kulit putih. Betapa prasangka rasialistik telah ikut termuat dalam karya fiksi Defoe tersebut. Sebagaimana yang disoal kemudian oleh penulis Susan Arndt. Demikian pula kehadiran Spanyol di Amerika Selatan yang membantai suku Indian, karena merasa berhak atas benua baru tersebut.

Ternate, juga dianggap sebuah ‘terra-incognita’ yang berebutan dicaplok setelah kehadiran Portugis (1511) dan Spanyol (1521) atas dasar Perjanjian Tordesillas maupun revisinya melalui Perjanjian Zaragosa tersebut. Maklum saja karena Ekspedisi Christopher Colombus dengan kapal El Pinto, justru nyasar menemukan Amerika sebagai benua baru yang disangkanya Maluku pada 1492.

Adapun peradaban di Moloku Kieraha, sebelum kedatangan bangsa kulit putih, dianggap tidak ada. Padahal struktur kekuasaan awal telah terbentuk sejak Perjanjian Foramadiahi (1255) yang melahirkan Kolano Cico Bunga bergelar Bab Mashur Malamo (1257). Bahkan kita telah mengenal Konfederasi Moloku Kieraha berdasarkan Traktat Moti (Moti Staten Verbond) yang dibentuk pada 1322 yang dipelopori Kolano Sidang Arif Malamo. Namun saja kehadiran imperialisme membawa kecelakaan  peradaban juga bagi kita pada tataran lokal. Karena kitapun terkooptasi masuk pada perangkap hoaks untuk berkonflik-ria satu sama lainnya oleh bangsa Eropa, karena motif kolonialisme dan monopoli rempah-rempah, cengkih dan pala tersebut.

Lihat saja kasus kriminalisasi Tabariji dan ibundanya Nyai Boki Cili alias Sriratu Nukila dalam periode Portugis, yang berubah menjadi Dom Manuel dan Donna Isabella. Nukila menghembuskan nafas terakhirnya dalam sunyi di tanah pengasingan Goa, India. Sedangkan Tabariji, terpaksa menyerahkan wilayah Ambon dan Buru serta menyatakan Ternate menjadi negeri vasal Portugis itu, wafat dalam perjalanan pulang dari Goa ke Malaka. Ia tidak pernah sampai lagi di Ternate.  Inilah kriminalisasi pertama yang terjadi dalam sejarah nusantara. Betapa tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah dunia ini, terjadi karena prasangka.

Juga betapa brutalnya pembantaian yang dilakukan Gubernur Jenderal Belanda ke 4 Jan Pieterzoen Coen atas penduduk aseli Pulau Banda sekedar untuk memonopoli pala. Kurang lebih 9,000, bahkan ada yang menyebut angka 13,000 penduduk aseli Banda terbantai. Bukan hanya kepada pribumi, tetapi kehadiran para pedagang Inggris sebagai kompetitor VOC di Pulau Ambon pun dibantai dengan menyewa  samurai Jepang (ronin) yang atas desakan Belanda, dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai ‘Amboyna Massacre’ pada 1623 atas perintah Gubernur Herman van Speult. Peristiwa mana membuat 20 pedagang Inggris dan Portugis, juga Jepang tewas tercabik-cabik samurai seorang ronin yang bekerja untuk kepentingan VOC dan dipertontonkan dimuka umum untuk menimbulkan efek teror. Dari Pulau Run, Kepulauan Banda pula, sejarah nusantara kita terkait hingga Distrik Manhattan dan New York, Amerika Serikat. Padahal jauh sebelumnya, perdagangan rempah-rempah Maluku, telah dilakukan oleh para pedagang Melayu, Jawa, Arab, Gujarat (India) dan China dengan damainya. Kota Ternate bahkan memiliki pemukiman para pedagang tersebut.

Dalam riset Karel Steenbrink, juga menggambarkan prasangka kolonial itu memang berawal dari dua laporan Jan Pieterzon Coen dari Ternate kepada Heeren Zeventien atau Gentelmen Seventeen (Dewan 17), Dewan Direksi VOC yang didirikan pada 1602 di Amsterdam, Belanda. Agar bertindak keras terhadap penduduk lokal Ternate karena mereka tidak dapat dipercaya. Jan Pieterzoen Coen yang hanya seorang akuntan sipil biasa itu, walaupun ia kemudian tewas di Batavia, kota yang dibangunnya, adalah penguasa yang sangat berlumuran darah. Tidak mengherankan jika Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja Mataram, menyerbu Batavia sebanyak dua kali pada 1628 dan 1629. Bahkan diduga kuat, Jan Pieterzon Coen tewas ditangan operasi telik sandi pasukan Mataram yang berhasil menyusup ke benteng VOC di Batavia walaupun Batavia sendiri gagal ditaklukkan. Tentara Mataram ini meracuni Kali Ciliwung dan mengepung Batavia hingga Pasukan VOC terjangkiti penyakit kolera. Karena air minum yang telah diracuni tersebut.

Adapun Babullah, Sultan Ternate ke 24 itu, memiliki strategi yang jauh lebih manusiawi. Ia mengepung Nuestra Senhora del Rosario (Benteng Sao Paulo Kastela), selama lima tahun berselang, untuk mencegah pertempuran terbuka secara militer demi menghindari korban pasukan dan penduduk sipil non-combatan yang tidak diperlukan. Babullah seakan menerapkan strategi prang kuno China, Sun Tze yang menyatakan : the supreme art of war is to subdue the enemy without fighting, bahwa puncak dari seni berperang adalah mengalahkan musuh tanpa pertempuran.

Pada 1571, Portugis pernah dikepung 30 Juanga dan 3,000 serdadu Moluku Kieraha yang meyerbu Portugis di Ambon dibawah Kapita Kalakinka, Sang Kapita Sula. Serangan berikut, pasukan ini dibantu Kapita Rubuhongi. Babullah kemudian berhasil merebut Benteng Toloko, Santa Lucia, Santo Pedro dan mengepung Benteng Sao Paulo, pusat kekuasaan Portugis terakhir. Perang Soya-soya ini sendiri melibatkan 2,000 armada tempur dan lebih dari 120,000 prajurit. Hubungan Portugis dengan dunia luar ditutup seluruh aksesnya selama pengepungan tersebut. Hingga 1575 Portugis akhirnya menyerah dan meninggalkan Ternate selamanya. Itupun dilakukan negosiasi damai dari para paderi Jesuit yang berhasil meyakinkan Babullah untuk tidak lagi menumpahkan darah yang tidak perlu. Merekapun meninggalkan Ternate tanpa disakiti. Babullah mengijinkan orang Portugis yang telah kawin-mawin dengan penduduk lokal untuk tetap menetap di Ternate. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai musuh. Juga melarang pasukannya menyakiti para Paderi Jesuit. Karena mereka adalah unsur non combatan.

Setelah itu, Babullah juga tercatat menerima 164 pasukan 5 armada Inggris dengan tangan terbuka dibawah pimpinan Francis Drake pada 1579. Pertemuan mana dianggap sebagai embrio hubungan diplomatik Indonesia-Inggris. Dalam catatan Drake, Babullah dilukiskan sebagai sosok agung dan bersahabat. Ia mempersembahkan 6 ton cengkih kepada armada Inggris dengan kapal bendera Golden Hind tersebut. Babullah menjamu mereka, para tamu armada Inggris itu dengan baik. Bahkan Babullah sempat mengirim surat diplomatiknya kepada Ratu Elizabeth I. Armada Francis Drake ini, tercatat sebagai armada kedua yang berhasil mengelilingi dunia, setelah yang pertama dilakukan Ekspedisi  Ferdinand Magellan (Spanyol), yang membuang sauh di Ternate dan Tidore pada 1521, dengan dua kapal tersisanya Trinidad dan Victoria yang dinakhodai Juan Sebastian del’Cano. Karena Magellan sendiri terbunuh dalam konflik lokal di Mactan, Filipina. Dalam perjalanannya, armada Drake juga sempat melucuti kapal Spanyol Nuestra Senhora de la Concepcion di Samudera Pasifik dan merampas muatan perak dan  perhiasan (silver and jewellery) hingga tiba di Pulau Moti. Oleh  Sangaji Moti-lah, armada Inggris ini kemudian dipandu memasuki dermaga Talangame, Bastiong Ternate dan ia pula yang melapor kepada Babullah akan kehadiran 5 armada Inggris tersebut.

Nakh, Babullah, sebagai sebuah sosok yang melegenda dalam benak kita, pada dasarnya telah menjadi memori kolektif publik. Namun memang perlu direkontruksi dengan sistematis dan cermat, diberi tempat yang pantas sebagai pahlawan nasional. Karena ia adalah sang pemenang dalam sejarah nusantara melawan kolonialisme Eropa. Ia sosok pemenang dalam arti berani melawan prasangka kolonialisme yang mengawali imperialisme yang telah mecabik-cabik peradaban umat manusia atas dasar pransangka tersebut. Dengan demikian, tidak berlebihan jika persitiwa Babullah, direkonstruksi dalam perspektif Harari.

Sebagai monumen kemenangan atas akal sehat. Babullah dalam persepktif ini, adalah sosok yang melompati masa depan peradaban dalam konotasi Homo Deus. Siapa menyangka bahwa sejarah nusantara justeru terbentuk dari rute perdagangan dunia yang kita kenal sebagai seidenstrasse atau the silk road (jalur sutera). Dan penamaan tersebut adalah mankna metafora pertemuan peradaban berbagai bangsa yang dikemukakan Ferdinand von Richthofen pada 1877, seorang ahli geografi bangsa Jerman. Halmana diawali dari ekspedisi rempah-rempah nusantara, cengkih dan pala. Dalam kontekstualitas itulah Babullah memiliki kepantasanuntuk ditetapkan sebagai pelopor peradaban, karena ia adalah monumen akal sehat. Halmana menjadi penting ketika dunia masih tercabik-cabik oleh politik prasangka, hoaks pada era post – truth zaman now. Karenanya, sejarah bukan sekedar kumpulan fakta dan teori belaka. Sejarah mengandung pelajaran hidup dari masa lalu, masa kini dan bahkan masa yang akan datang.

Kita butuh monumen untuk bisa belajar bijak dalam menyikapi perubahan dan disrupsi era digital dewasa ini, dengan menarik  nilai historis yang konsisten dari ketokohan seperti Babullah. Sekalipun kian berjarak karena rentang waktu. Tanpa itu, kita akan terperangkap dalam samudera lupa dan tenggelam dalam kegelapan masa depan. Bahwa merekonstruksi nilai Babullah ini, adalah monumen akal sehat agar bangsa ini tidak larut dilamun lupa karena gonjang-ganjing politik hoaks dan manipulatif semata. Monumen ini seyogianya akan menjadi sebuah quantum leap anak bangsa menuju renaisans baru sebagai upaya merawat Indonesia dari terjangan badai disrupsi era milenial dan the great shifting. Hal ini menjadi penting dalam konteks karakter pembangunan bangsa yang memang belum selesai. Agar kita tidak mengulangi umpatan kecewa filsuf Cicero, Oh Tempora..Oh Mores.

Semoga...

Penulis : Saiful Bahri Ruray

Komentar

Loading...