Komite I DPD RI Soroti Konflik Agraria dalam Kunjungan Kerja ke Papua

JAYAPURA,Legalpost.id– Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melakukan kunjungan kerja ke Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (17/2/2025).
Pertemuan yang berlangsung di Kantor Gubernur Papua ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan reforma agraria serta konflik pertanahan yang masih menjadi permasalahan utama di Papua.
Kunjungan ini dihadiri oleh jajaran Pemerintah Provinsi Papua, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), termasuk Kodam XVII Cenderawasih, Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi, Lantamal X Jayapura, Lanud Silas Papare, serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua.
Dalam sambutannya, Pejabat (Pj) Gubernur Papua menyampaikan bahwa untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria, Pemprov Papua telah membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria tingkat provinsi. Keputusan ini tertua dalam Keputusan Gubernur Nomor 188.4/41/Tahun 2024 yang diterbitkan pada 19 Januari 2024.
Menurutnya, konflik yang sering terjadi di Papua umumnya terkait dengan kepemilikan tanah adat atau tanah ulayat, tidak hanya pada lahan milik masyarakat tetapi juga berada dalam kawasan hutan. Persoalan ini sering berujung pada penegakan hukum, sehingga diperlukan kesepahaman antara semua pihak, termasuk tokoh adat, agar solusi yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat dan pembangunan Papua.
Wakil Ketua III Komite I DPD RI, Muhdi, menegaskan bahwa pelaksanaan reforma agraria menghadapi tantangan yang tidak mudah, terutama di era industrialisasi yang semakin memahami ketersediaan lahan bagi masyarakat. Kondisi ini sering kali memicu konflik, termasuk penyelesaian lahan di kawasan hutan.
Dalam laporan tahun 2023, Indonesia mengalami 241 konflik agraria yang melibatkan tanah adat, dengan total luas terdampak mencapai 638.188 hektar, meliputi tanah adat, lahan pertanian, wilayah tangkap, dan organisasi. Lebih lanjut, data mencatat bahwa dalam konflik-konflik tersebut, 73% melibatkan aparat bersenjata negara, 11% melibatkan aparat keamanan perusahaan, dan dibantu oleh penyerang tak dikenal serta kebijakan pemerintah daerah.
Senator asal Papua, Carel Simon Petrus Suebu, mendorong Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menanggapi persoalan pertanahan yang berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Ia menekankan pentingnya kajian yang lebih mendalam guna menghindari ketegangan antara masyarakat adat dan pemerintah.
Dalam rapat tersebut, Sultan Hidayat M. Sjah menyoroti berbagai konflik agraria yang terjadi di Indonesia, mulai dari Barambang Katute di Sinjai, Pulau Flores, Pulau Rempang, hingga Sentani di Papua dan pembangunan Bendungan Mbay Lambo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya, penyelesaian konflik agraria di wilayah seperti Papua, Maluku, dan Maluku Utara memerlukan pendekatan historis dan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, serta masyarakat hukum adat.
Senator dari Papua Barat, Walikota Paul Finsen, menambahkan bahwa dalam setiap upaya reforma agraria dan pengaturan tanah ulayat, perlu ada musyawarah dengan tokoh adat untuk mencapai kesepakatan yang adil. Hal ini sejalan dengan pandangan Pdt. Penrad Siagian dari Sumatra Utara, yang menegaskan bahwa tuntutan masyarakat adat terhadap tanah ulayat adalah hak yang sah dan harus dihormati. Oleh karena itu, keterlibatan aktif masyarakat adat dalam kebijakan pertanian menjadi suatu keharusan.(*)
Komentar